Makalah Tokoh-Tokoh Tasawuf
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Tasawuf merupakan salah satu aspek asoterik Islam,
sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung
antara seorang hamba dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung
dengan Tuhan. Sementara itu, intisarinya adalah kesadaran akan adanya
komunikasi rohaniah antara manusian dan Tuhan melalui kontemplasi. Dengan
bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia
akan dibimbing oleh cahaya Ilahi.di dalam ajaran Tasawuf pun terdapat beberapa
tokoh yang terkemuka. Dimana tokoh-tokoh tersebut juga memiliki ajaran Tasawuf
nya masing-masing.
B. RumusanMasalah
1.
Siapakah
tokohTasawuf pada periodeKlasik ?
2.
Siapakah
tokoh Tasawuf terkemuka periodePertengahan ?
3.
Siapakah
tokoh Tasawuf terkemuka Periode Modern ?
4.
Siapakah
tokoh Tasawuf terkemuka periodeKontemporer?
C. Tujuan
1.
UntukmengetahuitokohTasawuf pada periodeKlasik
2.
UntukmengetahuitokohTasawuf pada periodePertengahan
3.
UntukmengetahuitokohTasawuf pada periode Modern
4.
UntukmengetahuitokohTasawuf pada periodeKontemporer
Baca Juga : Makalah fiqih bab taharah
PEMBAHASAN
A. Tokoh-tokohTasawuf periode Klasik
1. Ibn Athaillah
as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M),
dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki
serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan
fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat
yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan,
diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran
spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa
Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai
dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk
Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili
dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama
tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi
Abil Hasan.
2.
Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di
Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang
telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah
dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia
meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara
filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh
intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah
karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek
kehidupan spiritual.
3.
Abdul Qadir Al Jilani
Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal
dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan,
Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak.
Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia
mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir
disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut
sebagai Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak
bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual
yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb
(menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui
bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling
pertama berdiri.
4.
Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia
dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar
Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati.
Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari,
kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi
murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq"
artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti
"Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan
"melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung
makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al
Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan
"manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan".
Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya
justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau
syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena
masih pro dan kontra.
B. Tokoh-tokohTasawufperiodePertengahan
1.
Zu al-Nun
al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid
Sauban bin Ibrahim Zu al-Nun al-Misri.dia lahir di Ekhmim yang terletak
dikawasan Mesir Hulu pada tahun 155H/770M. Banyak guru-guru yang telah
didatanginya dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya baik di negeri Arab
maupun Syiria. Pada tahun 214H/829M, dia ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah
dan dikirim ke kota Bagdad untuk dipenjarakan disana.
Setelah diadili khalifah
memerintahkan agar dia dibebaskan dan dikembalikan ke Cairo. Di kota ini
diameninggal pada tahun 245H/860M. menurut biografi-biografi para sufi, dia
adalah seorang pada masanya terkenal keluasan ilmunya, kerendahan hatinya, dan
budi pekertinya yang baik.
Dalam
tasawuf posisinya dipandang penting, karena dia itulah yang pertama di Mesir
yang memperbincangkan masalah awal dan maqamat para wali.
Selanjutnya, Zu al-Nun al-Misri cenderung mengkaitkan ma’rifah dengan syariah,
sebagaimana katanya: “Tanda seorang ‘arif itu ada tiga: cahaya ma’rifahnya
tidak memudarkan cahaya sifat wara’nya, secara batiniah tidak memegangi
ilmu yang menyangkal hokum lahiriah dan banyaknya karunia Allah tidak
menjadikannya melanggar tirai-tirai larangannya”.
2.
Abu Yazid
al-Bustami
Nama lengkapnya ialah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan
al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200H/814M di Bustam, bagian Timur Laut
Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal pada tahun 261H/875M.
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar
agama islam menurut masbah Hanafi. Abu Yazid adalah seorang zahid yang
terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan
dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Kepribadiannya menjadi sangat
menonjol dikalangan kaum sufi Persia pertama. Tidak banyak orang sufi yang
mengesankan sekaligus membingungkan orang-orang sezamannya dan zaman-zaman
sesudahnya. Abu Yazid lah yang pertamakali menimbulkan paham fana’ dan baqa’
dalam tasawuf.
Yang biasanya dirujukkan kepada Abu Yazid sebaga
ipembawanya terdapat pula, ucapan-ucapannya tentang hidup kerohaniannya, yang
menjadi perhatian bagi pengagumnya, terutama dikalangan kaum syufi. Misalnya:
“Pertikaian para ulama adalah rahmat kecuali dalam kehidupan”.
C. Tokoh-tokohTasawufperiode
Modern
1.
Buya Hamka
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di
Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 –
meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan
Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia dinyatakan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No.
113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada
tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai
cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928.
Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan
cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi,
Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada
tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke
Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya
sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan
sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia
mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi
peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar
Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di
Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit
sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama “al-Mahdi”.
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang
Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia
mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan
sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman
Masyarakat. Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para
pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa
menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat.
Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan
alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum
intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa
Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di
Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan
menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis.
Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi
Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.
Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang
menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi
koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya
otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu, ia juga
aktif di kancah politik melalui Masyumi.
Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua
kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat
bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari
kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya
di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau
menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai
Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah
pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu.
Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki
Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA
menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub
dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian
besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya
bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden
Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada
tahun 1960.
Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno.
Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak
suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang
mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA
tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan
persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis
Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari
penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan
pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed
Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya
sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama
Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan
Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap
keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari
jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk
mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa
dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam
dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada
bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan
dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di
Malaysia dan Singapura.
D. Tokoh-tokoh Tasawuf periode Kontemporer
1.
Jalaluddin Rakhmat
Jalal adalah panggilan Jalaluddin Rakhmat, beliau lahir pada tanggal 29 Agustus
1949 di Rancaekek, Bandung.Awal mula Jalaluddin Rakhmat mengenal syi’ah dimulai
dari perkenalannya dengan Haidar Bagirdari ITB dan K.H Endang Saefuddin Ansori
(almarhum) pada sebuah konferensi di Kolombia 1984. Jalaluddin Rakhmat adalah seorang
yang beraliran syi’ah yang mengagumi tasawuf. Dibidang tasawuf beliau memiliki tiga
konsep yang ditawarkan kepada masyarakat modern diantaranya wara’, zuhud,
dan sabar terbilang cukup mudah jika ditransformasikan di zaman modern ini,
karena beliau adalah sufi kontemporer.
Wara’, pada umumnya menyucikan diri dengan cara menuntut ilmu yang dapat meningkatkan
kualitas kesucian diri itu sesuai dengan tuntutan di zaman modern ini, Karena sesuatunya
pasti ada ilmunya. Seorang zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya kepada
harta yang dimilikinya serta tidak terletak padahal-hal yang bersifat material,
tetapihal-hal yang bersifat spiritual. Manusia di katakan sabar apabila dia menemui
konflik dan dapat menyelesaikannya dengan hati yang ikhlas.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada masa klasik tasawufnya masih zuhud, tidak terlalu suka dengan duniawi.
Secara keilmuan masih belum terpuruk. Pada abad pertengahan baru muncul kata
tasawuf ,mulai ada gejolak dan perpecahan. Ketika kepemimpinan jatuh pada dinasti
baniumayah terdapat perbedaan darastis pola hidup dimana berubah menjadi serba mewah
dan muncullah orang-orang zahid yang menolak dengan gaya hidup tersebut. Namun saat
menolak sedikit berlebihan sehingga menarik diri dari masyarakat danasyik dengan
dirinya sendiri beribadah dengan Allah.Pada era Modern di kritik karena terlalu
asyik dengan dirinya sendiri. Pada kontemporer tasawuf lebih bersifat elektronik
dan bisa dikatakan komoditas.
B.
Saran
Untuk para
peserta didik seyogyanya makalah ini dapat dijadikan sebagai pandangan
fikiran yang nantinya dapat dijadikan sebuah referensi tentang keteladanan
tokoh-tokoh tasawuf terkemuka yang memiliki tabiat baik dalam perjalanan
hidupnya.
Untuk para
pembaca hendaknya harus lebih mengetahui dan mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari mengenai sifat-sifat para tokoh tasawuf.
lumayan buat referensi lagi mas
BalasHapusterimakasih mbak
Hapus