Makalah tasawuf akhlaki atau amali
Makalah tasawuf akhlaki atau amali
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam
syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun. Adapun asal-usul tasawuf menurutnya
adalah konsentrasi ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan
dunia dan menjauhkan diri dari Makhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai
mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga
hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang
konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia
disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid
al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak
Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal
Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang
memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan.
Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu
kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah
secara zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam
rukun iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
B.
Pengetian Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaandan kesucian jiwa yang diinformasikan pada pengaturan sikap mental
dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang
optimal.[1]
Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf bentuk ini
berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela
(Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri
para sufi. Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi
sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek
lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf,
seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat
tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik
terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Oleh
karena itu dalam tasawuf akhlaki mempunyai tingkatan sistem pembinaan akhlak
yang tersusun sebagai berikut:
1.
Takhalli
Takhali
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan
maksiat batin.[2]
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah
satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara
lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2.
Tahalli
Tahalli
adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.[3]
Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari
akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat
eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah
kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun
yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada
Tuhan
3.
Tajalli
Untuk
pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib.[4]
Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi
dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu
dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan
rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.
C.
Tokoh-Tokoh Tasawuf Dan Pemikirannya
Tasawuf
Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari
hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah,
dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa
disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan
oleh ulama salaf as-salih.
Dalam
diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk.
Potensi untuk menjadi baik
adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi
buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya
: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para
sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain :[5]
1.
Hasan al-Basri (21 H – 110 H)
Hasan
Al-Bashri memiliki nama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang
zahid dari kalangan tabiin yang lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah. Beliau
merupakan pelopor utama yang mulai memperluaskan ilmu-ilmu kebatinan dan
kesucian jiwa.
Menurut
pandangannya, tasawuf merupakan ajaran untuk menanamkan rasa takut (baik itu
takut akan dosa-dosa, takut tidak mampu memenuhi perintah dan larangan Allah,
takut akan ajal atau kematian ) di dalam diri setiap hamba dan senantiasa
mengingat Allah SWT. Beliau berpendapat bahwa dunia adalah ladang beramal,
banyak duka cita di dunia dapat memperteguh amal sholeh.
2.
Al-Muhasibi (165 H – 243 H)
Al-Muhasibi memiliki nama lengkap Abu Abdillah
Al-Harist bin Asad Al-Bashri Al- Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashroh,
Irak pada tahun 165 Hijriyah. Menurut beliau, tasawuf berarti ilmu yang
mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan kewajiban
sebagai seorang hamba dan meneladani akhlak Rasulullah Saw.
Beliau juga berpendapat ada 3 hal yang perlu
ditekankan untuk membersihkan jiwa dan mencapai jalan keselamatan, yaitu
melalui Ma’rifat (Mengenal Allah SWT dengan mata hati), Khauf (rasa takut), dan
Raja’ ( pengharapan).
3.
Al-Qusyairi (376 H – 465 H)
Al-Qusyairi
memiliki nama lengkap ‘Abdul Karim bin Hawazim. Beliau lahir di kawasan
Nishafur pada tahun 465 Hijriyah, dimana beliau ini merupakan seorang ulama
yang ahi dalam berbagai disiplin ilmu pada masanya.
Ajaran
tasawuf Al-Qusyairi didasarkan pada doktrin Ahlusunnah Wal Jama’ah dan berlandasakan
ketauhidan. Beliau mengadakan pembaharuan di ajaran tasawuf, dengan menentang
keras doktrin-doktrin aliran Karamiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mujassamah. Ia
juga menjelaskan pembeda antara dzahir dan bathil, serta syariat dan hakikat.
Menurutnya, tidak haram jika seseorang menikmati kesenangan dunia, asalkan
tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah.
4.
Al-Ghazali (450 H – 505 H)
Al-Ghazali
memiliki nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi.
Beliau lahir di kota Khurasan, Iran pada tahun 450 Hijriyah. Di masa hidupnya,
Al Ghazali merupakan seorang ahli ilmu yang dikagumi oleh banyak ulama besar.
Beliau juga dikenal sebagai seorang Sufi, Filosof, Fuqoha (ahli fiqh), dan
Mutakallim. Beliau juga memiliki banyak gelar, salah satunya Hujjah al-islam
yang diperolehnya dari kerajaan Bani Saljuk.
Seperti
halnya Al-Qusyairi, Al-Ghazali juga berupaya mengembalikan ajaran tasawuf yang
sesuai syariat agama dan bersih dari aliran-aliran asing yang menyesatkan
islam, dengan berpedoman pada Al Quran dan As sunnah (Ajaran Rasulullah Saw).
Tasawuf Al-Ghazali lebih kepada penekanan pendidikan moral, dimana seseorang
dianjurkan memperdalam ilmu aqidah dan syariat terlebih dahulu sebelum
mempelajari ketasawufan.
Itulah
sedikit ulasan mengenai ajaran tasawuf akhlaki. Yang perlu kita pahami, bahwa
memang penting bagi seorang hamba mendekatkan diri kedapa Allah SWT.
Namun bukan berarti kita melalaikan urusan di dunia. Islam memerintahkan
umatnya untuk bekerja sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup, sebagai firman
Allah dalam surat At-Taubah ayat 105:
“Dan
Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)
Tokoh-tokoh
Tasawuf Ahlaki dan Ajarannya
Tasawuf
Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah,
terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol
prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana
ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan
dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak
hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu
tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu
kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh
kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendapatnya, mereka mengikat
antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas.
Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf
mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf
ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka
adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya
sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu
Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi,
adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan
tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali
membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh
pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah
Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali
kaidah-kaidah praktis.
1.
Junaid Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi.
Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri
al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad
pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam
menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah
seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya,
madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai
wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus
tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi
(Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah
al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid
berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang
riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri
al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan
al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya,
sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya
dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid
dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang
tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam
kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh
al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang
merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang
Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian
tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang
selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid
juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu
sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`,
sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan
binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya
baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan
kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga
mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
2.
Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah
Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah.
Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim
al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn
Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit
sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun
yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya
masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu
al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki
meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota
Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika.
Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan
masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan
mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan
meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur
merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam
disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota
inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan
ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan
itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq.
Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan
tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy
mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang
Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas
Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami
dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq
menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah
satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya,
Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan
ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan
wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam
putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu
Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar
Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping
berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain.
Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M),
seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu
Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam
dari AAbu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga
belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan
Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta
mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad
al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy
banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah
wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para
pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah
yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut
sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy
cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia
juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah
dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara
selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri
yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan
terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek
pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat
Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas
Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah
al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi
yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul
(penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya,
dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang
selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin
dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya
daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak
demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa
al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa
al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari
sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama
hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat
dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan
agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya
Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat
persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya
sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam
Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang
tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya
itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh,
Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi
40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke
Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab
Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab
Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah
beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi
at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku
pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M.
Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut
merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut
Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad,
tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa
beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20
tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan
selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak
ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa
tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah
Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
3.
Al-Harawi
Nama
lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir
tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia
adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf
dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan
tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai
pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang
terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di
antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb
al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut,
menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama
kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali
dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak
kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya
di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam
kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik
terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana
katanya.
Dalam
kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi
berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari
perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari
peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan
ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan
aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas
tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu
adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan
lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka
ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan
yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh
tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah
bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan
ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian
yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas
tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak
melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut,
menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
D.
Ciri-ciri Tasawuf Akhlaki
1.Melandaskan
diri ada Al-Qur’an dan As-sunah. mereka tidak mau menerjunkan pemahamannya pada
konteks iluar pembahasan Al-Qur’an dan Hadits
2.Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan
syahadat-syahadat.
3.Lebih bersifat
mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme yang
dimaksud disiini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat
berhubungan dengan tuhan, sehubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda
diantara keduanya,dalam hal esensinya.
4.Kesenambungan,antar
hakikat dan syariat.
5.Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan,pendidikan akhlak,dan pengobatan jiwa dengan
cara riyadhah (latihan mental)dan langkah takhalli, tahalli, tajalli.
E. Manfaat mempelajari ilmu tasawuf
Adapun manfaat
dalam mempelajari tasawuf akhlaki sebagai berikut :
1.Seseorang akan
dapat memperoleh posisi baik didalam masyarakat.
2.Akan disenangi
orang dalam pergaulan.
3.Akan terhindar
dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang diciptakan Allah.
4.Orang yang
bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan pertolongan dan kemudahan dalam
memperoleh keluruhan kehidupan dan sebutan yang baik dalam masyarakat. Jasa
seseorang yangberakhlak mendapatkan perlindungan dari segala penderitaan dan
kesukaran hidup.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Taswuf
akhlaki adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini berkonsentrasi
pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah)
sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para sufi.
Selain itu,
tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.
Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.
Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.
Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.
Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
Ajaran Tasawuf Akhlaqi
Bagian
terpenting dari tujuian tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan
Tuhan, sehingga merasa sadar berada di “hadirat” Tuhan. Semua sufi berpendapat
bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang kepada kehadirat
Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Para sufi berpendapat bahwa untuk
merehabilitas sikap mental tidak baim diperlukan terapi yang tidak hanya dari
aspek lahiriah. Tasawuf akhlaki disusun oleh beberapa tingkatan pembinaan
akhlak yaitu sebagai berikut :
1. Takhalli
(mengosongkan diri dari dari akhlak yang buruk)
2. Tajalli
(terbukanya dinding diri akhlak yang buruk)
3. Tahalli
( menghiasi diri dengan akhlak terpuji)
Belum ada Komentar untuk "Makalah tasawuf akhlaki atau amali"
Posting Komentar